Jumat, 03 Juli 2009

THE SECRETS OF SUCCESSFUL LEADERSHIP

THE SECRETS OF SUCCESSFUL LEADERSHIP

[Menurut Kejadian 13:8-9]

OLEH YEFTA TAMPANI

Pendahuluan

Dalam tulisan ini akan mambahas “Rahasia Kepemimpinan yang Berhasil” dengan berpijak pada ketokohan Abraham menurut Kejadian 13:8-9. Pada prinsipnya Kejadian 12-22 membahas panggilan Abraham untuk menerima janji Allah dan bukan panggilan untuk memimpin bangsa Israel seperti Musa dan Yosua yang ditugaskan oleh Allah membawa bangsa Isarel keluar dari Mesir. Meskipun demikian, tugas Abaraham menurut Kejadian 13 dan 14 menunjuk pada suatu tugas ‘memimpin’. Kisah tentang Abraham menurut Kejadian 13 menekankan tipe seorang sebagai pemimpin yang unik. Dipertegas lagi dalam Kejadian 14 bahwa Abraham ‘memimpin’ (yaitu orang-orang yang berada di bawah asuhannya) untuk membebaskan Lot dari tawanan di Sodom. Tetapi kepemimpinan Abraham ini bersifat sporadis. Hal ini disebabkan oleh situasi dan kondisi yang sulit dan tidak diperkirakan sebelumnya. Keunikan kepemimpinan Abraham terletak pada keberhasilannya mengorganisir bawahannya (Kej.14:15), kesuksesannya meredam persoalan yang terjadi di tingkat internal keluarga (Abraham dan Lot), kesuksesannya menyelesaikan persoalan di tingkat eksternal keluarga (para budak-budak mereka) dan yang paling utama dari tugas Abraham adalah berhasil menerima realisasi janji Allah kepadanya (Kej.21).

Pembahasan kepemimpinan Abraham yang sporadis tapi unik menyangkut beberapa hal berikut ini: 1) Siapakah Abraham? 2) Dimanakah letak peranan Abraham sebagai seorang pemimpin? 3) Keunikan kepemimpinan Abraham. Dan pada akhir dari tulisan ini, akan disajikan kesimpulan dan aplikasinya bagi Gereja di masa kini.

I. Latar belakang Abraham

Kejadian 11:26 jelas menjadi bukti bahwa Abraham adalah anak dari Terah. Abraham mempunyai seorang isteri yaitu Sarai (ay.31). Sebelum Abraham dipanggil oleh Allah, Terah terlebih dahulu melakukan suatu tugas yang persis sama dengan rencana Allah bagi keluarganya secara khusus dan bangsa Israel secara umum yaitu membawa Abraham anaknya, Sara menantunya, dan Lot cucunya keluar dari Ur (barangkali sekarang ini Irag) ke Kanaan (Kej.11:31). Ada kesamaan antara tindakan Terah terhadap keluarganya dan tindakan Allah terhadap Abraham yaitu ‘meninggalkan’ daerah dimana mereka tinggal dan pergi ke ‘Kanaan’ (band.11:31 dan 12:1). Di sini kita mengetahui bahwa Allah lebih dahulu mempersiapkan Abraham sebelumnya untuk menerima janji-Nya. Alkitab tidak mencantumkan riwayat hidup Abraham secara detail mulai dari kelahirannya, karakternya sejak kecil sampai dewasa. Demikian juga wataknya tidak disampaikan secara rinci bagi kita. Tetapi informasi tentang bagaimana awal perjanjian Allah dan Abraham (Kej.12) sampai dengan puncak realisasi janji Allah kepada Abraham (Kej.21) cukup terwakilkan untuk menyimpulkan bahwa Abraham adalah seorang yang taat. Bahkan malaikat Tuhan sendiri memuji Abraham karena ketaatannya (Kej.22:18). Ia adalah seorang yang sungguh-sungguh beriman kepada Allah (Kej. 22:1-19). Karakter lain dari Abraham yang merupakan bukti dari ketaatan dan imannya kepada Allah akan di bahas dalam bagian ketiga ‘Keunikan kepemimpinan Abraham’.

II. Kepemimpinan Abraham bersifat sporadis

Kisah tentang Abraham dan Lot dalam kejadian 13:8-9 tidak dapat dilepaskan dari konteks perjanjian Allah dengan Abraham. Terah membawa Abraham dan isterinya Sarai serta Lot keponakannya dari Ur-Kasdim menuju Kanaan (Kej.11:31)[1]. Jelas bahwa janji itu mulai dikhususkan kepada pribadi tertentu saja yaitu kepada Abraham. Disamping itu, Allah juga memilih Kanaan sebagai tujuan akhir dari janji-Nya.

Abraham dan keluarganya berjalan dari Ur dan sampailah mereka di Betel sekitar tahun 1900 sM. Mereka telah melewati Babel, Haran, dan Sikhem. Daerah Ur berada di lereng gunung sebelah Timur sedangkan posisi topografi Haran lebih tinggi dari Ur. Dapat dibayangkan bahwa dari Ur ke Haran, Abraham berjalan mendaki. Tetapi ketika ia pergi ke Sikhem, ia berjalan menurun karena posisi kota itu berada di lereng gunung sebelah Barat. Lalu ke Mesir dan kembali lagi ke Sikhem[2].

Perjalanan Abraham bukan bersama-sama dengan satu bangsa yang besar. Fakta bahwa Abraham hanya pergi bersama dengan istrinya Sarai dan Lot keponakannya (Kej.11:31). Ketika mereka sampai di Mesir (Kej.12:10-20), Abraham diberkati oleh Firaun dengan harta yang banyak termasuk mendapat budak-budak. Barangkali mereka ini orang Mesir karena peristiwa ini terjadi di Mesir. Walaupun cara yang dilakukan oleh Abraham tidak berkenan kepada Allah yaitu membohongi raja bahwa Sarai itu saudaranya. Akan Tetapi ini tidak mengurangi klaim bahwa Abraham seorang yang taat dan beriman Allah.

Di sini kita dapat membayangkan bahwa Abraham menerima panggilan ‘untuk keluar’ yaitu menjalankan panggilan iman (Allah memanggilnya dengan maksud untuk menerima janji keselamatan kekal Allah). Namun dalam proses tersebut, Abraham melakukan tugas sebagai seorang pemimpin dalam keluarganya (dalam konteks yang lebih kecil), tetapi juga memimpin budak-budaknya (dalam konteks sedikit lebih besar). Kita tidak mengetahui dengan pasti berapa jumlah budak-budak mereka. Alkitab hanya mencatat bahwa jumlah ternak mereka dan budak-budak yang diperoleh ‘amat banyak’ (Kej.13:6) sehingga mereka tidak bisa tinggal bersama-sama dalam satu daerah. Dalam Kejadian 14, kita juga menemukan bahwa Abraham harus bertindak sebagai seorang pemimpin atas satu kelompok orang yang berjumlah 318 orang. Jumlah ini setingkat 1,5 kompi. Dan orang-orang yang dipimpinnya adalah orang-orang yang sudah terlatih (Kej.14:14). Sedangkan kita tahu bahwa Abraham bukan seorang yang dilatih khusus untuk berperang namun dia memimpin orang-orang yang terlatih. Ada indikasi bahwa Abraham memiliki kemampuan memimpin secara otodidak dalam perang. Buktinya hanya dengan 318 orang mereka dapat mengalahkan Kedorlaomer, raja Elam bersama pasukannya yang sangat mahir dalam hal berperang. Kemampuan Abraham dalam hal ini akan dibahas dalam bagian ketiga.

Perlu digarisbawahi di sini bahwa kepemimpinan Abraham di sini hanya bersifat sporadis. Artinya ketika dalam proses perealisasian janji Allah melalui dirinya, Abraham diperhadapkan dalam suatu situasi dan kondisi yang ‘mau tidak mau’ ia harus bertindak sebagai pemimpin untuk menyelesaikan konflik atau persoalan yang terjadi. Perintah sesungguhnya yang ia terima adalah keluar dari Ur dan pergi ke Kanaan. Di dalam perjalanan itulah terjadi persoalan-persoalan di tingkat eksternal (luar) yang kemungkinan besar akan menggagalkan apa yang ia nanti-nantikan selama bertahun-tahun dan yang menjadi fokus perhatiannya yaitu menerima janji Allah.

III. Keunikan kepemimpinan Abraham

Pertanyaan yang mengawali pembahasan bagian ini adalah mengapa kepemimpinan Abraham disebut unik. Menurut kamus bahasa Indonesia, unik artinya berbeda dengan yang lainnya; lain daripada yang lain[3]. Dimanakah letak perbedaan kepemimpinan Abraham dengan pemimpin-pemimpin yang lain? Berikut ini akan dijelaskan 3 aspek kepemimpinan yang dimiliki oleh Abraham menurut Kejadian 13:8-9 yakni: 1) Type of leadership atau tipe kepemimpinan Abraham, 2) Approaches of solving problem atau pendekatan-pendekatan Abraham dalam pemecahan masalah 3) Main Focus atau fokus utama Abraham.

Pertama-tama akan dijelaskan teks utama yang menjadi dasar pijak dari keseluruhan pembahasan topik ini yaitu Kejadian 13:8-9. Di bawah ini adalah kutipan isi Kejadian 13:8b-9 dalam tiga versi terjemahan dengan maksud untuk memperlihatkan perbandingan arti dari setiap ungkapan [bagian kata atau kalimat yang dipertebal] yang akan dibahas dalam tulisan ini. Ketiga versi terjemahan itu antara lain:

A. Dikutip dari Alkitab terjemahan baru LAI

“…Janganlah kiranya ada perkelahian antara aku [Abraham] dan engkau [Lot], dan antara para gembalaku [gembala-gembala Abraham] dan para gembalamu [gembala-gembala Lot] sebab kita ini kerabat. Bukankah seluruh negeri ini terbuka untuk engkau [Abraham berkata kepada Lot]? Baiklah pisahkanlah dirimu dari padaku [Abraham berkata kepada Lot]; Jika engkau [Lot] ke kiri, maka aku [Abraham] ke kanan; jika engkau [Lot] ke kanan, maka aku [Abraham] ke kiri”

B. Dikutip dari Alkitab terjemahan lama LAI

“…janganlah kiranya jadi perbantahan antara aku [Abraham] dan dikau [Lot] dan antara gembalaku [gembala Abraham] dengan gembalamu [Lot], karena kita ini [Abraham dan Lot] bersaudara. Bukankah sekalian tanah ini dihadapanmu [kata Abraham kepada Lot]? Berasinglah kiranya engkau [Lot] dari padaku [Abraham]. Jikalau engkau [Lot] pergi ke sebelah kiri, maka aku [Abraham] pergi ke sebelah kanan kelak, dan jikalau engkau [Lot] pergi ke sebelah kanan, maka aku [Abraham] pergi ke sebelah kiri”.

C. Dikutip dari Alkitab bahasa Inggris terjemahan NIV

“…Let’s not have any quarreling between you [Abraham] and me [Lot], or between your herdsmen [Lot’s herdsmen and Abraham’s herdsmen], for we are brothers. Is not the whole land before you [Abraham said to Lot]? Let’s part company. If you [Lot] go to the left, I’ll [Abraham] go to the right; if you [Lot] go to the right, I’ll [Abraham] go to the left”.

Abraham bersama keluarganya dan semua budak-budaknya meninggalkan Mesir dan pergi ke Kanaan sesuai dengan perintah yang ia terima dari Allah. Ketika mereka sampai di Betel, mereka mendirikan kemah di sana. Rupanya tempat itu tidak cukup luas untuk tinggal bersama sebab ternak dan budak mereka cukup banyak (Kej.12:16). Akibatnya terjadi percecokan antara para gembala Abraham dan gembala-gembala Lot. Abraham melihat hal ini sebagai masalah yang dapat mengancam hubungan kekerabatannya dengan Lot. Abraham tidak ingin membiarkan masalah ini meluas. Oleh sebab itu Abraham segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan pertikaian itu[4].

Abraham mengawali percakapannya dengan berkata kepada Lot demikian “janganlah kiranya ada ‘perkelahian’ antara aku [Abraham] dan engkau [Lot], dan antara para gembalaku [gembala-gembala Abraham] dan para gembalamu [gembala-gembala Lot]” (ay 8b). Dari tiga versi terjemahan di atas, kita menemukan tiga kata yang dipakai berbeda-beda untuk menyebut persoalan yang terjadi yaitu ‘perkelahian’ ‘perbantahan’ dan ‘quarreling’. Menurut kamus besar bahasa Indonesia[5], kata ‘perkelahian’ memiliki perbedaan arti dengan kata ‘perbantahan’. Perkelahian artinya pertengkaran dengan adu kata-kata dan adu tenaga. Sedangkan Perbantahan berarti pertengkaran; percecokan; memperebutkan sesuatu; memperdebatkan; penentangan dengan mulut; perselisihan. Dalam terjemahan bahasa Inggris, kata yang dipakai adalah ‘quarreling’[6]. Perkelahian lebih tepat di terjemahkan ‘boxing’ atau ‘fighting’ sedangkan perbantahan lebih tepat diterjemahkan ‘quarreling’. Perbantahan memiliki sinonim dengan quarreling. Bakker dalam bukunya “Sejarah Kerajaan Allah 1”, memakai kata ‘percecokan’ untuk menjelaskan masalah yang terjadi antara para gembala Abraham dan gembala Lot. Percecokan itu jangan sampai terjadi antara Abraham dan Lot[7]. Kata percecokan sinonim dengan perbantahan dan quarreling. Pertanyaannya: Kata manakah yang lebih tepat dipakai sehingga artinya mendekati kebenaran sesungguhnya dari peristiwa ini. Apakah perkelahian atau perbantahan. Mungkin kita mendekati masalah ini dengan cara menghubungkan kasus ini dengan maksud dari usulan yang disampaikan oleh Abraham kepada Lot. Pada prinsipnya usulan Abraham bersifat pencegahan terhadap masalah agar tidak meluas. Jika kita analisa baik-baik kata perbantahan dan perkelahian, keduanya memiliki tingkatan resiko yang berbeda tetapi sama-sama memberikan dampak negatif bagi hubungan sosial yang baik. Perkelahian dapat memberikan efek kepada masing-masing person yang berkelahi baik dari dalam hati maupun secara fisik berupa luka, memar pada tubuh bahkan bisa sampai pada korban jiwa. Tapi pertengkaran hanya menimbulkan sakit hati. Abraham tidak mau membiarkan hal-hal yang tidak baik seperti perbantahan atau perkelahian terjadi apalagi merusak hubungan kekerabatan mereka. Bandingkan dengan Yakobus 2:21-23 dan Ibrani 11:8-9. Jadi dapat disimpulkan bahwa persoalan yang terjadi baru dalam tingkat perbantahan dan belum sampai pada tingkat perkelahian. Hal ini sesuai dengan atau “dispute”, “quarrel"[8] demikian Abraham berusaha untuk mencegah perbantahan yang terjadi.

Abraham memilih suatu ungkapan yang bersifat persuasif dalam menyampaikan maksud hatinya kepada Lot. Dia berkata ‘janganlah kiranya…”. Menurut Tata Bahasa Indonesia, kata ‘jangan’ dipakai dalam kalimat larangan. Kalimat larangan menurut buku Tata Bahasa Indonesia digolongkan dalam kalimat imperatif. Kalimat imperatif atau perintah menurut isinya dapat diperinci menjadi 6 golongan yaitu: (1) Perintah atau suruhan biasa (2) Perintah halus (3) Permohonan (4) Ajakan dan harapan (5) Larangan atau perintah negarif (6) Pembiaran[9].

Maksud yang disampaikan oleh Abraham kepada Lot termasuk dalam bentuk larangan. Tetapi Abraham memilih kata ‘janganlah’ untuk menjelaskan kepada Lot bahwa tindakan perbantahan itu tidak baik di mata Allah. Barangkali dapat diduga bahwa Abraham tentu berpikir apakah suatu masalah tidak bisa diselesaikan secara damai tanpa harus bertengkar? Tetapi Abraham tidak hanya memakai ‘jangan’ sebab hal itu sifatnya memerintah dengan penuh otoritas. Perintah itu merupakan keharusan bagi pelaksana. Contohnya 10 hukum Taurat, Allah menegaskan larangannya sebagai suatu kewajiban ketaatan. Abraham sadar bahwa dia bukan Allah yang berhak memberikan suatu perintah yang menuntut ketaatan yang mutlak tanpa komentar. Abraham juga menyadari bahwa dirinya sama dengan Lot. Untuk itu, Abraham tidak memakai kata ‘jangan’ untuk menghindari anggapan ‘memerintah’ Lot dalam menyampaikan usulannya. Meskipun ia dianggap sebagai yang dituakan atau yang memimpin, dia tidak mau memakai kesempatan itu untuk bertindak semaunya dalam mengambil keputusan. Hak prerogatif Abaraham disampaingkan dan ia selalu mempertimbangkan perasaan Lot sebagai ‘yang utama’ agar jangan sampai ia sakit hati.

Perasaan Lot mendapat perhatian khusus dari Abraham sebab mereka berdua kerabat. Dan mereka bersama-sama sejak meninggalkan Ur. Tetapi karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan lagi bagi mereka untuk tinggal bersama-sama, maka sekarang Lot harus memisahan diri dengan Abraham. Barangkali dapat dibayangkan perasaan Abraham sebagai ‘orangtua’. Tentu saja ia merasakan bagaimana perasaan hati Lot yang akan tinggal sendiri di tempat yang asing. Untuk memahani situasi ini, kita bisa membayangkan apabila seorang ayah dan ibu mengantar anaknya ke pelabuhan. Bayangkan saja bagaimana perasaan mereka terhadap anaknya saat kapal hendak berangkat. Abraham memahami persis keadaan hati Lot untuk itu ia memilih suatu bentuk usulan yang halus: ‘janganlah’. Lalu Abraham menutup usulannya itu dengan berkata “sebab kita ini kerabat” (ayat 8). Kata yang dipakai untuk menyebut hubungan antara Abraham dan Lot dalam tiga versi terjemahan di atas adalah ‘bersaudara’, ‘kerabat’ dan ‘brothers’. Sebenarnya kata saudara dan kerabat memiliki arti yang berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, saudara artinya orang yang seibu dan seayah. Sedangkan kerabat artinya keturunan dari induk yang sama; mempunyai hubungan keluarga; keluarga berdasarkan hubungan darah[10]. Istilah saudara diterjemahkan brothers dalam bahasa Inggris sedangkan kerabat diterjemahkan relative. Dapat disimpulkan bahwa Abraham dan Lot adalah kerabat dekat dan bukan saudara kandung. Selanjutnya dalam tulisan ini akan dipakai istilah kerabat.

Munculnya ungkapan “sebab kita ini kerabat” menunjukkan bahwa yang menjadi prioritas utama bagi Abraham adalah ‘persaudaraan’ yang berpusat pada kasih bukan pada masalah perbantahan. Meskipun ada masalah, tetapi kasih persaudaraan itu jangan sampai hancur. Oleh sebab itu Abraham berusaha menyelesaikan masalah tersebut dengan cara yang santun sehingga tidak menimbulkan masalah baru bagi hubungan persaudaraan mereka. Abraham bisa saja memakai status dan kekuasaannya untuk mengambil tindakan tanpa harus mengajukan usul kepada Lot sebab dia yang tertua dan mendapat panggilan dari Allah. Ini adalah hak yang istimewah. Di sinilah letaknya penekanan dari Abraham terhadap ‘persaudaraan’ itu sebagai sesuatu yang sangat penting.

Abraham mengawali usulannya dengan berkata ‘jangalah’ lalu ia menempatkan kata ‘kiranya’ setelah janganlah untuk memperhalus permintaannya kepada Lot. Dalam versi bahasa Inggris, ungkapan ini diterjemahkan ‘let’s not have any…’. Let’s adalah singkatan dari let yang berarti biarkan atau biarlah; marilah; dan baiklah. Apostrope ‘s’ setelah let adalah singakatan dari ‘us’ artinya ‘kita’. Let dipakai untuk menyatakan suatu usulan. Dalam bahasa Indonesia kata yang cocok untuk suatu usulan adalah ‘kiranya’.

Penggunaan partikel-lah dan kiranya di sini sebagai suatu bentuk persuasif yang bersifat halus dengan tujuan ‘mengajak’ dan menghindari maksud ‘memerintah’. ‘Janganlah’ adalah kata yang mengandung arti suatu ajakan yang halus kepada orang lain yang memiliki arti sama dengan ‘kiranya’. Hanya saja, kata kiranya mengandung arti suatu harapan besar dibalik usulan atau undangan yang disampaikan untuk dilakukan. Dalam ungkapan ‘janganlah kiranya’ tidak berarti Abraham melakukan suatu tindakan pemborosan kata, melainkan ia mencoba menunjukkan suatu perasaan ‘kasih’ yang sangat dalam sebagai orangtua terhadap siapa saja termasuk Lot keponakannya dengan tidak memaksakakan kehendaknya. Abraham mengharapkan suatu respon dari Lot yang didasarkan atas pilihannya sendiri dan sama sekali tidak bermaksud untuk memutlakan keinginannya kepada Lot meskipun apa yang ia tawarkan itu sangat baik. Abraham dalam kisah ini, sungguh-sungguh mengesampingkan fungsi dan jabatannya dan mengedepankan kasih sebagai yang mutlak.

Setelah ajakan Abraham disampaikan kepada Lot, ia mulai menyampaikan maksud yang sesungguhnya. Ada tiga versi kalimat yang dipakai dalam terjemahan dari LAI dan NIV. Ketiga versi itu antara lain “bukankah seluruh negeri ini terbuka untuk engkau?”; “bukankah sekalian tanah ini dihadapanmu?’; “Is not the whole land before you?”. Ketiga bentuk ungkapan ini sama-sama mengandung arti bahwa Lot juga memiliki hak atas negeri dimana mereka tinggal. Dan Abraham mempersilahkan Lot untuk memilih sesuai dengan keinginannya. Abraham tidak mengklaim bahwa negeri itu menjadi miliknya sendiri dan Lot tidak memiliki hak sama sekali. Kita tidak menemukan kalimat seperti berikut ini “tanah di seluruh negeri ini milikku”. ‘Ku’ berfungsi sebagai objek untuk orang pertama tunggal. Objek berupa pronomina [personal pronoun] yang dipakai dalam ketiga kalimat di atas adalah ‘mu’, ‘engkau’ dan ‘you’. Ketiga-tiganya adalah orang kedua tunggal. Dalam kisah ini Abraham bertindak sebagai orang pertama dan Lot sebagai orang kedua. Jelas bahwa ini ditujukan kepada Lot semata-mata. Lagi-lagi disini Abraham mencoba untuk meyakinkan Lot sebelum ia menyampaikan ajakannya dengan memberikan suatu alasan yang dapat membuka paradigma Lot dalam mengambil suatu keputusan terhadap ajakannya. Abraham tidak sekedar menawarkan ajakan, tetapi ia memberikan suatu argumentasi yang sifatnya tidak menjebak. Argumentasi Abraham dimaksudkan supaya Lot tidak berprasangka negatif kepadanya. Abraham tidak mempertahankan haknya sebagai yang terutama tetapi mengedapankan hak Lot. Ungkapan ini juga mengandung arti suatu niat baik dari Abraham untuk memberikan suatu ajakan yang tidak bersifat paksaan untuk mengusir Lot begitu saja. Abraham memberikan kesempatan kepada Lot untuk menentukan yang terbaik baginya. Terlihat dengan jelas sekali setelah ajakan diungkapkan, Abraham langsung memberikan pilihan kepada Lot “jika engkau [Lot] ke kiri, maka aku [Abraham] ke kanan; jika engkau [Lot] ke kanan, maka aku [Abraham] ke kiri” (ay.9). Sekarang Lot mulai memilih (ay.10) sebab memang Abraham dengan tulus hati menyampaikan ajakannya itu dan Lot telah memahami isi hati Abraham. Ada satu kata yang ditambahkan oleh Abraham sebelum memberikan pilihan itu kepada Lot. Ketulusan hati Abraham kepada Lot terbukti saat ia membebaskan Lot dari tawanan di Sodom (Kej.14). Dalam ketiga terjemahan di atas memakai tiga kata yang berbeda yaitu ‘pisahkanlah’, ‘berasinglah’ dan ‘Let’s part company’. Pada prinsipnya, Abraham berpendapat bahwa masalah perbantahan itu disebabkan oleh sempitnya daerah dimana mereka tinggal. Otomatis, solusi yang diambil oleh Abraham bukan dengan cara mengajarkan ‘Spiritual Formation’ [pembentukan kepribadian atau karakter] kepada para gembala mereka. Hal itu tidak salah tapi tidak menyelesaikan masalah. Solusi yang terbaik adalah berpisah dengan alasan menemukan ruang yang cukup yaitu cukup makanan, cukup untuk beristirahat, dan lain sebagainya bagi ternak-ternak mereka.

Hal ini mengingatkan kita bagaimana suatu masalah diselesaikan secara arif dan bijksana sehingga tidak menimbulkan masalah baru. Solusi yang kita pilih terhadap suatu masalah menentukkan kemampuan kita. Seberapa jauh penguasaan kita terhadap masalah itu? Tepat tidak keputusan yang diambil? Sejauhmanakah kedekatan kita dengan Allah sebagai sumber hikmat itu? Sekarang persoalan yang dihadapi oleh Abraham terhadap kebijakannya menyuruh Lot untuk memisahkan diri dengannya adalah masalah sakit hati atau kebencian. Abraham dengan hati-hati dan penuh pertimbangan dalam mengambil tindakan. Dengan kata lain, tindakan Abraham ini berpotensi menimbulkan sakit hati dari Lot. Meskipun demikian, dengan berat hati ia harus melakukan tindakan itu. Apakah di sini Allah mau memperjelas janji itu kepada Abraham bahwa janji-Nya itu dikhususkan baginya? Kita tidak dapat memastikannya. Tapi yang pasti bahwa Lot harus memisahkan dirinya dengan Abraham sebab itu solusi yang terbaik. Di sini juga mengingatkan kita bahwa pada saat kita mengambil keputusan, ada resiko yang siap menghadang. Jadi bagaimana sikap kita mengatasi resiko tersebut? Sekali lagi Abraham tetap memprioritaskan ‘kesatuan dalam kasih’ dan nampak dari ungkapan yang dipakai Abraham.

Kata ‘berasinglah’ dan ‘pisahkanlah’ adalah dua kata yang tidak memiliki perbedaan arti yang menonjol. Pada prinsipnya kedua kata ini memiliki arti sama. Pisahkanlah dirimu berarti mengasingkan diri dari orang lain. Kedua kata ini diterjemahkan ‘Let’s part company dalam bahasa Inggris yang juga memiliki arti yang sama dengan pisahkanlah dan juga berasinglah.

Dari sisi etika, Lot seharusnya memberikan kesempatan pertama kepada Abraham sebagai yang tertua untuk memilih meskipun Lot dipersilahkan memilih terlebih dahulu. Namun, Lot mengesampaikan hal itu. Jelas bahwa Lot adalah tipe orang yang serakah, dan selalu kuatir. Barangkali Abraham sudah mengenal sifat Lot oleh sebab itu ia tidak mau menyebabkan muncul masalah baru hanya karena suatu hal yang sepeleh.

Jadi, teks Kejadian 13:8-9 terdiri dari 3 bagian penting yaitu:

  1. Kalimat pembuka ‘introduction’. Yang disampaikan dalam bentuk ajakan halus dengan tujuan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan ‘preventive action’ [Kej.13:8].
  2. Inti pesan ‘core of the message’. Disampaikan dalam bentuk argumentasi yang bertujuan memberikan suatu harapan bahwa tawaran itu tidak mencelakakan sekaligus memberikan peluang untuk memilih terlebih dahulu [Kej.13:9a].
  3. Penutup pesan ‘closing’. Berupa ajakan untuk memilih sebab tidak ada maksud negative di dalamnya dan mempersilahkan Lot untuk memilih salah satu diantara pilihan itu [Kej.13:9b]. Dalam ayat berikutnya Lot langsung memilih [ay 10].

IV. Kesimpulan

Dari pembahasan teks Kejadian 13:8-9 dapat disimpulkan bahwa tipe kepemimpinan Abraham dapat disebut unik karena memiliki ciri khas yang membedakannya. Berdasarkan penggolongan tipe kepemimpinan menurut Bendiktus Sihotang, STP.[11], maka kepemimpinan Abraham dapat dikategorikan sebagai ‘tipe zealots’ yaitu memiliki visi, bersemangat terhadap perbaikan, mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri, pejuang yang gigi, bersedia menghadapi tantangan, jujur dan bersikap adil. Abraham juga dapat disebut sebagai ‘participative leader’ yaitu menjunjung tinggi demokrasi, memandang orang lain sebagai yang termulia, penuh persuasi, dan memberikan contoh, memperhatikan perasaan pengikutnya, senang menerima saran, pendapat atau kritik, musyawarah menjadi hal yang sangat penting, memberikan kebebasan kepada bawahannya untuk bertindak, membuat pengikutnya sukses. Dia juga dapat disebut sebagai ‘tipe sosial’ yakni tujuan akhirnya adalah keberhasilan orang lain, ramah, simpatik, dan tidak mementingkan diri sendiri. Keberhasilan Abraham ditentukan oleh fokusnya terhadap panggilan yang ia terima. Abraham melakukan berbagai macam cara hanya untuk mencapai tujuannya. Berbagai tipe yang melekat pada kepemimpinan Abraham dapat disimpulkan dengan satu istilah yang sangat terkenal ‘kasih’. Abraham adalah pemimpin yang mengasihi. Karena kasih, Abraham taat sampai janji Allah dinyatakan. Karena kasih, Abraham mengesampingkan haknya dan mengutamakan hak Lot. Karena kasih, Abraham mempersilahkan Lot memilih terlebih dahulu. Karena kasih, Abraham merendahkan dirinya kepada Lot. Karena kasih, Abraham membebaskan Lot dari tawanan. Abraham mengenal dengan pasti kasih yang sebenarnya sehingga ia benar-benar menyatakan kasih itu dalam dirinya melalui tugas yang dipercayakan oleh Allah kepadanya. Abraham adalah ‘tipe pemimpin yang mengasihi’. Kejadian 14:18-20 menyaksikan bahwa Abraham diberkati oleh raja Selem karena ia telah berhasil mengemban suatu tugas yang mulia. Perjalanan kehidupan Abraham penuh dengan berkat karena mengenal dengan pasti siapa Tuhan yang ia percayai. Gereja masa kini membutuhkan pemimpin seperti Abraham dalam mengemban tugas Agung Tuhan Yesus Kristus. Pemimpin yang mengenal Tuhan dengan pasti yakin bahwa ia akan membawa umatnya sampai memasuki tanah Kanaan.



[1] [1] The New Bible Commentary (terjemahan), YKBK, 1983, 99

[2] [2] Jenkins Simon Peta Alkitab, YKBK, 2008, 19

[3] Ahmad A.K. Muda, Drs. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Realita Publisher, 2006

[4] [4] Bakker F.L, Sejarah Kerajaan Allah 1, BPK, 1965, 110

Antara gembala ternak Abraham dan gembala ternak Lot selalu ada percecokan mengenai padang rumput yang baik dan tentang sumur-sumur yang perlu untuk memberi minum ternak. Percecokan sedemikian itu akan menimbulkan bahaya bagi Abraham dan Lot.

Itulah sebabnya Abraham mengusulkan kepada Lot, supaya mereka berpisah. Abraham dan Lot bersaudara; mereka harus hidup dalam damai; lebih baik mereka berpisah sekarang sebelum mereka ikut berselisih sebagai akibat perselisishan antara gembala mereka terus menerus.

[5] [5] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1969, 78 & 929

[6] [6] Oxford Learners Dictionary

[7] [7] Antara gembala ternak Abraham dan gembala ternak Lot selalu ada percecokan mengenai padang rumput yang baik dan tentang sumur-sumur yang perlu untuk memberi minum ternak. Percecokan demikian ini akan menimbulkan bahaya bagi Abraham dan Lot.

[8] William L. H., A Concise Hebrew and Aramic Lexicon of the Old Testament, 1988, 338

[9] [9] Alwi Hasan, dkk, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2003, 353

[10] [10] Kamus Besar Bahasa Indonesia, 423 & 788

[11] Benediktus Sihotang, STP, Tipe-Tipe Pemimpin, Minggu 19 April 2009 (media online)

DARI MESIR KE KANAAN


DARI MESIR KE KANAAN

[SEBUAH PERSONIFIKASI]

OLEH

YEFTA TAMPANI


Pendahuluan

Mesir dan Kanaan adalah nama tempat di Timur Tengah. Kedua tempat ini bersejarah bagi bangsa Israel dalam Perjanjian Lama. Mesir adalah tempat dimana bangsa Israel mengalami perbudakan. Akibat dari perbudakan, Allah membebaskan bangsa Israel dan menuntun mereka kembali ke negeri asal mereka yaitu Kanaan (Kel.1-40). Perbudakan sama dengan penindasan yaitu memperlakukan dengan sewenang-wenang[1]. Perbudakan juga berarti penderitaan akibat tekanan dari orang lain secara politik. Lawan dari perbudakan adalah merdeka atau bebas dari penindasan.

Nama lain dari Yakub adalah Israel dan menurut sejarah, mereka bukan penduduk asli Mesir. Kejadian 37:1 menjelaskan bahwa Israel berasal dari Kanaan. “Adapun Yakub, ia diam di negeri penumpangan ayahnya, yakni di tanah Kanaan”. Yusuf, salah seorang dari anak Yakub, dijual oleh saudara-saudaranya kepada orang Ismael tanpa sepengetahuan ayahnya. Yusuf kemudian dibawa ke Mesir (Kej. 37:28). Suatu ketika Yakub mengetahui bahwa Yusuf masih hidup dan ia berada di Mesir. Yakub rindu bertemu dengan Yusuf. Oleh sebab itu bersama dengan saudara-saudara Yusuf yang lain, Israel pindah ke Mesir (Kej. 46). Isarel menetap di Mesir dan berkembang menjadi suatu bangsa yang besar (Kel. 1:7, 9).

Orang Mesir merasa ketakutan karena Israel berkembang sangat cepat menjadi satu bangsa yang besar. Pemerintah Mesir mulai menerapkan berbagai aturan dengan tujuan untuk menindas mereka. Misalnya kerja paksa dan menekan pertambahan jiwa (Kel.1:10, 15, 16).

Penderitaan ini tidak terjadi di luar rencana Allah. Penderitaan ini bukan hukuman tetapi suatu pembentukkan hati atau terapi bagi bangsa Israel (Ul. 8:2). Tujuannya supaya bangsa Israel belajar merendahkan hati. Penderitaan ini adalah suatu proses pembentukkan oleh sebab itu tidak melebihi kekuatan mereka. Allah membebaskan mereka tepat pada waktunya. Langkah awal Allah dalam pembebaskan bangsa Israel adalah mengutus Musa memipin mereka kembali ke Kanaan.

“Sebab itu Aku telah turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir” (Kel. 3:8). Bentuk dasar dari kata melepaskan adalah “lepas”. Kata ini memiliki arti sama dengan tidak tertambat atau tidak terikat lagi atau bebas[2]. Penambahan prefiks ‘me’ dan sufiks ‘kan’ pada kata dasar “lepas”, mengubah kata ini menjadi kata kerja aktif. Subjek kalimat yaitu “Aku” [Allah] terlibat secara aktif dalam proses pembebasan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir. Perhatikan kalimat “…dan menuntun mereka …ke Kanaan”. Penggunaan preposisi ‘ke’ dengan nomina “Kanaan” memiliki ciri lokatif. Artinya kegiatan ‘melepaskan’ dalam kalimat tersebut menunjuk pada tempat. Dengan kata lain, kehidupan yang terlepas dari perbudakan hanya ada di Kanaan. Jadi bangsa Israel tidak hanya dilepaskan atau dibebaskan begitu saja dari perbudakan tetapi ada maksud dan tujuan dibalik peristiwa ini. Tujuannya agar bangsa Israel keluar dari “Mesir” dan menuju “Kanaan”. Maksudnya bangsa Israel lepas dari perbudakan dosa dan hidup dalam suatu kebebasan yang memuliakan Allah. Kanaan juga menunjukkan bahwa Allah bertanggungjawab terhadap umat-Nya. Dia mempersiapkan tempat bagi mereka yang memungkinkan untuk hidup dalam suatu persekutuan yang indah, damai yang diperintah oleh seorang Raja yang adil yaitu Allah sendiri.

Ada satu pertanyaan yang timbul, mengapa bangsa Israel harus ke Kanaan? Apakah tidak ada tempat lain selain Kanaan? Telah disebutkan di atas bahwa kehidupan yang bebas dari tekanan/penindasan hanya ada di Kanaan. Dalam Keluaran 3:8 jelas Firman Allah berkata “Kanaan adalah satu-satunya negeri yang berlimpah susu dan madu”. Di sini tidak menyebut tempat lain kecuali Kanaan. Ada banyak tempat di Timur Tengah, tetapi hanya Kanaan yang memiliki “susu dan madu”. Secara harafia, “susu dan madu” adalah minuman yang memiliki kualitas gizi tinggi, lezat dan dapat membuat orang sehat dan juga menyembuhkan penyakit. Bangsa Israel mendambakan “susu dan madu” untuk menyembuhkan mereka dari penyakit ‘tekanan’ yang sedang mereka alami. “Susu dan madu” yang dimaksud di sini adalah lambang dari kesejahteraan, kedamaian, sukacita, dan keindahan. Inilah kualitas hidup yang dikehendaki oleh Allah agar nyata dalam kehidupan umat pilihan-Nya. Kanaan adalah symbol dari sukacita, kedamaian dan di sana tidak ada penindasan. Wahyu 21:4 menggambarkan Kanaan yang penuh dengan “susu dan madu itu”. Kanaan tidak ada air mata, tidak ada perkabungan atau ratap, tangis atau dukacita”. Allah ingin supaya umat-Nya hidup dalam suatu suasana yang penuh dengan sukacita yang memuliakan Allah.

Mesir dan Kanaan

[suatu perlambangan]

Karakter manusia dapat mengubah arti sebuah nama. Misalnya, Mesir dan Kanaan. Kedua nama ini sebenarnya adalah nama tempat di Timur Tengah, sekarang. Mesir dan Kanaan memiliki arti lain selain sebagai nama tempat. Mesir dipersonifikasikan sebagai tempat yang penuh dengan dosa. Contoh: “Ucapan Ilahi terhadap Mesir” (Yes. 19:1-25) menunjukkan bahwa Allah tidak lagi menahan murka-Nya terhadap Mesir karena dosa mereka. Kanaan dalam Perjanjian Baru disebut Yerusalem baru. Kanaan dipersonifikasikan sebagai tempat yang penuh dengan sukacita, kesucian, kekudusan sehingga di sana tidak ada dosa. “Dan aku melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru…” (Wahyu 21:2a). “Kota itu penuh dengan kemuliaan Allah dan cahayanya sama seperti permata yang paling indah, bagaikan permata yaspis, jernih seperti kristal” (Wahyu 21:11).

Kebaikan atau kejahatan dihasilkan oleh karakter manusia. Tempat juga memiliki sifat-sifat seperti indah, menarik, gersang, dan lain sebagainya. Akan tetapi tempat tidak dapat dikatakan memiliki karakater kebaikan atau kejahatan. Mengapa? Kata ‘baik’ dan ‘jahat’ adalah kata sifat. Karena itu sifat ini bisa ada pada suatu benda, termasuk Mesir dan Kanaan. Tetapi penambahan ‘ke-an’ pada kata baik dan jahat menjadi kata keterangan aktif. Artinya ada tindakan menghasilkan perbuatan ‘baik’ dan ‘jahat’. Benda mati tidak mungkin dapat menciptakan ‘kebaikan atau kejahatan’ kecuali manusia yang memiliki naluri atau akal budi yang memberi dorongan kepada manusia untuk melakukan perbuatan baik atau jahat. Akal budi manusia berperan untuk membedakan yang baik dan yang jahat.

Personifikasi dari kata Mesir dan Kanaan menujuk pada karakter orang yang mendiami kedua tempat tersebut. Bentuk personifikasi lain dapat kita lihat dalam peribahasa “bahasa menujukkan bangsa”. Bahasa hanyalah suatu media atau alat (benda mati) atau yang tidak bernyawa tetapi dipersonifikasikan seolah-olah sama dengan manusia. Contoh orang asing menilai orang Indonesia berbelit-belit karena kebiasaan berbicara yang terkesan ‘berputar-putar’ dalam mengungkapkan maksud yang sebenarnya. Bahasa yang dipakai mengubah karakter orang Indonesia. Contoh lain misalnya, “dewi malam tersenyum di balik awan”. Bulan yang disebut “dewi malam” adalah benda mati dipersonifikasikan sebagai seorang dewi (dewa perempuan) yang cahayanya indah seolah-olah seorang gadis yang tersenyum.

Personifikasi muncul sebagai akibat dari penilaian terhadap karakter manusia kemudian disandingkan dengan karakter suatu benda atau sebaliknya. Personifikasi juga dapat dikatakan sebagai pengaruh karakter manusia terhadap suatu benda yang ada disekitarnya. Dalam pengertian ini, benda yang mendapat pengaruh secara langsung berubah arti mengikuti karakter manusia misalnya ‘Mesir dan Kanaan’ (pengertian penulis).

Mesir dan Kanaan dipersonifikasikan seolah-olah memiliki karakter seperti manusia. Pengaruh karakter orang Mesir dan Kanaan mengubah arti kedua nama tersebut. Berikut ini adalah karakter orang Mesir dan Kanaan yang disebutkan dalam Alkitab. Mesir adalah bangsa menindas bangsa Israel (Keluaran 1:10-14). Orang Mesir membunuh orang Israel (Kel.1:16, 22). Orang Mesir dikenal pelit (Kel. 5:7), licik dan bengis (Kel. 5). Mereka mengadalkan sihir, dan orang-orang berilmu (Kel. 7:11). Orang Mesir curang terhadap orang Israel (Kel. 8:29). Orang Mesir melakukan banyak dosa (Kel. 9:34). Mesir dipersonifikasikan sebagai bangsa yang suka melakukan dosa.

Muncul pertanyaan, apakah orang Israel tidak melakukan dosa? Sebaliknya apakah orang Mesir tidak memiliki kasih? Jawabannya tidak. Jawaban terhadap kedua pertanyaan ini memberikan isyarat agar tulisan ini hanya difokuskan pada “Personifikasi Mesir dan Israel”. Lebih dipertegas lagi bahwa personifikasi di sini mengacu pada “karakter” menusia yang mendiami kedua tempat tersebut. Karakter orang Kanaan antara lain: kudus, suci dan tidak berdosa. Karakter-karakter ini adalah simbol dari orang-orang yang diam dalam “Kerajaan Sorga”. Personifikasi dari Mesir adalah dosa. Artinya karakter orang Mesir menurut Yesaya 40:2b lebih cenderung melakuan kejahatan. Lambang dari kejahatan adalah “Neraka”. Kebaikan, kekudusan, dan kesucian hanya ada di Sorga. Perbuatan dosa hanya ada di dunia. Karena Allah mengasihi isi dunia ini karena itu Ia mengutus Anak-Nya yang tunggal datang ke dunia untuk menebus manusia dari dosa (Yohanes 3:16). Dengan demikian, dapat simpulkan bahwa yang dimaksud Mesir dan Kanaan dalam tulisan ini adalah pertentangan antara “Dosa yang berakibat pada hukuman kekal dalam Neraka dengan kesucian, kebenaran, kekudusan, keadilan yang merupakan sifat-sifat orang percaya yang akan mendiami Kerajaan Sorga.

Kanaan menurut Frank Charles Thompson, melambangkan Surga suatu kehidupan Kristen yang lebih tinggi, yang dimenangkan melalui peperangan. Tafsiran ini didasarkan pada Roma 7:23[3]. Dalam Keluaran 3:8b, Kanaan adalah suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya. Wahyu 21:4 melukiskan bahwa di Surga tidak ada air mata, tidak ada perkabungan atau ratap tangis atau dukacita. Surga juga disebut Yerusalem Baru (Wahyu 21:9-27). Suatu kota yang penuh dengan kemuliaan Allah dan cahayanya seperti permata yang paling indah, bagaikan permata yaspis, jernih seperti kristal (ay.11).

Proses untuk keluar dari Mesir menuju Kanaan

Bangsa Israel merindukan suatu situasi yang kondusif dan bebas dari tekanan atau perbudakan. Keinginan ini terungkap dalam Keluaran 3:7 “Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir, dan Aku telah mendengar seruan mereka...”. Keluhan bangsa Israel telah didengar oleh Allah dan Ia sudah bertindak sebelum Ia menyampaikannya kepada Bangsa Israel.

Langkah pertama yang Allah kerjakan adalah memilih pemimpin untuk melepaskan bangsa Israel dari perbudakan (Keluaran 3:10) tetapi sebenarnya jauh sebelum itu, Allah sudah bertindak. Prinsip pemilihan bagi Allah berbeda dengan cara manusia. Aspek fisik, aspek pengetahuan, aspek kekayaan, aspek kedudukan sangat penting bagi manusia dalam memilih tetapi Allah justru sebaliknya. I Korintus 1:27-29 berkata “Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri dihadapan Allah”.

Prinsip pemilihan Allah didasarkan pada sifat-sifat-Nya. Musa adalah sosok seorang pemimpin yang tepat menurut pandangan Allah. Meskipun demikian, Musa mengakui bahwa ia hanya seorang gembala domba (Kel. 3:1). Ia tidak kuat, bodoh dan tidak memiliki pengalaman dalam berdiplomasi dan memimpin (Kel. 3:11; 4:10). Musa bahkan merasa pengutusan Allah tidak mengikuti prosedur manusia yaitu perlu ada ‘surat keputusan pengangkatan’ [SK dari Allah] (Kel. 3:13; 4:1). Oleh sebab itu ia merasa tidak pantas menjadi pemimpin (Kel. 4:13).

Menarik untuk dikaji karena Musa disatu sisi adalah pilihan Allah. Secara otomatis Musa tidak cacat dalam semua aspek, tetapi apabila ia memiliki kelemahan secara manusiawi, ia pasti disempurnakan sebab dia dipilih oleh Allah. Namun, Alkitab mencatat bahwa Musa tidak diperkenankan oleh Allah sendiri untuk memasuki tanah Kanaan. Dari sudut pandang manusia, Musa tentu kecewa dan tidak menerima keputusan itu. Ada tiga alasan, pertama, dia berjasa dalam memimpin bangsa Israel melewati padang gurun selama 40 tahun. Suatu perjalanan yang melelahkan dan dilalui dengan taruhan nyawa. Kedua, Musa tidak mengangkat dirinya menjadi pemimpin. Dia diutus oleh Allah. Jadi logisnya dalam bersalahpun ia harus tetap layak. Ketiga, pada awal pemilihan, dia tidak siap menjadi pemimpin karena dia hanya seorang gembala dan ia sendiri mengakui kelemahan itu tapi Allah menghendaki supaya ia menjadi pemimpin.

Alkitab mencatat bahwa Musa hanya diizinkan melihat dari jauh. Ulangan 34:1. Musa melihat dari jauh yaitu “…di atas gunung Nebo, yakni ke atas puncak Pisga, yang ditentangan Yerikho”. “…tetapi engkau tidak akan menyebrang ke sana” (Ulangan 34: 4b). Pertanyaannya, mengapa? Jawabannya karena Musa marah. Pada saat ia bersama-sama dengan bangsa Israel tiba di Masa dan Meriba. Pada saat itu bangsa Israel bersungut - sungut karena tidak ada air. Sungut - sungut bangsa Israel menyebabkan Musa marah. Satu kesalahan menurut pikiran manusia tidak seimbang dengan hukuman yang ia terima.

Timbul lagi pertanyaan dalam pikiran kita: Apakah keputusan Allah itu adil dan benar? Ada dua dasar pijak yang bisa dipakai untuk mengukur kebenaran dan keadilan Allah dalam keputusan ini. Pertama, jasa Musa. Jika ini menjadi tolak ukur penilaian, maka terkesan Allah tidak benar dan tidak adil dalam memberi hukuman kepada Musa sebab ia sangat berjasa kepada bangsa Israel. Kedua, konsekuensi. Konsekuensi berarti akibat yang harus diterima karena perbuatan seseorang. Jika ini yang menjadi dasar tolak ukur, maka hukuman Tuhan benar dan adil. Mengapa? Karena hukuman atau pahala bagi seseorang sekali-kali tidak dipengaruhi oleh jasa orang tersebut. Dengan kata lain, dosa tetap dosa, benar tetap benar dan menurut hukum konsekuensi, orang berdosa harus dihukum dan orang benar harus dibebaskan.

… Allah tidak memilih suatu perbuatan tertentu karena ada nilai intrinsik dalam perbuatan itu sendiri. …Dalam mengambil keputusan, Allah telah mengikuti standar obyektif yang menyangkut benar dan salah, yaitu suatu standar yang merupakan bagian dari struktur realitas. Namun, standar yang dipatuhi Allah tidak terletak di luar diri-Nya, tetapi merupakan watak-Nya sendiri. Allah mengambil keputusan sesuai dengan realitas, dan realitas tersebut adalah diri-Nya sendiri[4]

Jika Allah memperhitungkan jasa Musa, berarti Allah menunjukkan egoisme dan pilih kasih atau berat sebelah.

Keadilan Allah artinya Allah itu adil dalam pelaksanaan hukum-Nya. Allah tidak menampilkan sikap pilih kasih atau berat sebelah. Dalam hal ini identitas seseorang tidak berpengaruh. Apa yang telah dilakukan atau tidak dilakukan oleh seseorang itulah yang merupakan satu-satunya pertimbangan apakah seseorang menerima hukuman ataukah pahala. Bukti tentang keadilan Allah ini tampak ketika Allah mengutuk hakim-hakim pada zaman Alkitab, yang diperintah untuk mewakili Dia, namun menerima suap sehingga mengubah keputusan mereka (mis. I Sam. 8:3; Am. 5:12). Alasan pengutukan mereka adalah bahwa Allah sendiri yang adil, mengaharapkan perilaku yang sama dari orang-orang yang melakukan hukum-Nya.[5]

Sebagaimana halnya dengan kekudusan-Nya, Allah mengharapkan agar para pengikut-Nya menyamai kebenaran dan keadilan-Nya. Sebagai standar kita, kita harus menerima hukum dan ketetapan Allah. Kita harus memperlakukan orang lain secara jujur dan adil (Am. 5:15, 24; Yak. 2:9) karena itulah yang dilakukan Allah sendiri.[6]

Maka dapat disimpulkan bahwa hukuman Allah benar dan adil sebab konsekuensi dari tindakan Musa yang salah, ia patut menerima hukuman. Kita melihat obyektifitas Allah dalam mengambil keputusan. Hukuman dari Allah menunjukkan kebenaran dan kesucian diri-Nya yang tidak mungkin dikorbankan hanya karena jasa manusia. Tidak bisa dikatakan Allah tidak benar dan tidak adil dalam hukuman-Nya kepada Musa. Sebab apabila itu juga menjadi alasan berarti manusia lebih mengutamakan yang terbatas, daripada Tuhan yang tidak terbatas. Hal ini bertentangan dengan hukum yang pertama dan yang terutama “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, akal budimu, jiwa dan kekuatanmu (Luk.10:27).

Hakikat dosa tidak terletak dalam hal mementingkan diri sendiri daripada orang lain, tetapi dalam hal lebih menyukai hal-hal yang terbatas daripada Allah, atau mengganti sesuatu yang nilainya sangat terbatas. Jadi mengutamakan orang lain dan bukan mengutamakan Tuhan adalah dosa, sekalipun hal itu tampaknya sebagai tindakan yang tak mementingkan diri sendiri pada pihak kita. Perintah yang terutama dan yang pertama adalah mengasihi Allah dengan segenap hati, akal budi, jiwa dan kekuatan (Luk.10:27). Perintah terutama yang kedua adalah mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Mendahulukan perintah kedua sebagai pengganti perintah pertama adalah salah dan berdosa.[7]

“…Aku telah turun” menunjuk kepada kedatangan Kristus ke dunia

Perhatikan kalimat “…Aku telah turun untuk melepaskan mereka…” (Keluaran 3:8). Kalimat ini diterjemahkan “I have come down” [present perfect] dalam Alkitab bahasa Inggris terjemahan NIV. Penggunaan tenses ini menunjukkan bahwa kegiatan “turun” yang dilakukan oleh subjek kalimat [Aku] – [Allah] terjadi satu kali pada masa lampau tetapi masih ada hubungannya dengan waktu sekarang. Kata kerja ‘turun’ dalam kalimat tersebut adalah bentuk lampau (past participle). Kalimat ini menunjuk pada kedatangan Kristus ke dunia yang terjadi satu kali pada waktu lampau. Penggunaan to be ‘have’ dalam kalimat tersebut adalah indikasi waktu sekarang. Ini menunjuk pada karya Yesus Kristus yang tidak hanya terbatas bagi orang Israel pada waktu lampau tetapi bagi semua orang percaya di masa kini. Jika Dia tidak turun, tidak mungkin Musa dapat menyelesaikan masalah perbudakan dosa di Mesir. Sama halnya dengan Kristus. Jika Dia tidak datang ke dunia “siapakah yang dapat pengampuni dosa selain daripada Allah sendiri?” (Markus 2:7).

Kelemahan yang dilakukan oleh Musa yang menyebabkan ia tidak masuk dalam tanah perjanjian membuktikan bahwa manusia terbatas karena dosa. Tidak ada seorangpun yang benar, semuanya berdosa dihadapan Allah. Nabi sekalipun, tetap berdosa. Hanya Allah yang memiliki pribadi yang tidak berdosa. Oleh sebab itu Allah melalui Yesus Kristus turun ke dunia untuk ‘melepaskan’ manusia dari dosa [perhatikan kata melepaskan dipakai dalam Keluaran 3:8]. Nubuatan tentang kedatangan Kristus juga telah disampaikan oleh Yesaya dalam (Yesaya 40:3-5). Allah turun untuk melepaskan bangsa Israel dari perbudakan dosa menunjukkan betapa Ia mengasihi umat-Nya (Yeremia 31:3). Penderitaan yang dialami oleh bangsa Israel di Mesir melukiskan penderitaan Kristus ketika Dia berada di dunia. Manusia menolak Dia sebagai Juruselamat tetapi Ia mengasihi manusia karena Ia tahu bahwa dosa yang menyebabkan manusia memberontak terhadap Allah. Dia merelakan diri-Nya mati di kayu salib. Tetapi kuasa-Nya yang membangkitkan diri-Nya sendiri yang telah membuktikan bahwa Dia adalah Allah yang berbeda dengan illah-illah yang disembah oleh orang Mesir.

Masihkah kita di Mesir [dosa] atau sudah kembali ke Kanaan [hidup sebagai anak-anak terang]?

Pertanyaan ini sifatnya ‘self evaluation’. Artinya jawaban ada pada kita. Meskipun demikian, kita bisa belajar dari kasus “penderitaan bangsa Israel dan tindakan Allah untuk memulihkan mereka”. Perhatikan pernyataan Allah ini “…Aku telah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesengsaraan umat-Ku…” (Kel. 3:7a); “…Aku telah mendengar seruan mereka…” (ay.7b); “…Aku mengetahui (ay. 7c); “…Aku telah turun untuk melepaskan mereka…” (ay.8).

Pernyataan - pernyataan Allah di atas melukiskan suatu “sistem berekspresi” yang berbeda dengan cara manusia.

Di bawah ini adalah gambar proses suatu pernyataan atau tindakan yang dihasilkan oleh manusia.

OBJEK

INPUT

MATA

OUTPUT

STATEMENT

(saying)

.




Pertama-tama, mata menangkap objek (input), dibawa ke hati lalu diproses dalam pikiran dan selanjutnya muncul dalam bentuk ekspresi: kata-kata atau tindakan (output). Output pertama yang muncul dalam system berekspresi manusia adalah pernyataan (saying) dan kedua tindakan (action). Tetapi kenyataan yang kita lihat, banyak orang hanya sampai pada tahap pertama pernyataan (saying) dan sulit untuk sampai pada tahap kedua tindakan (action).

Prosedur Allah dalam system berekspresi berbeda dengan manusia. Pada saat berekspresi (output), pertama kali yang muncul adalah tindakan (action) kemudian pernyataan (saying). Tentu masing-masing system ini memiliki hasil yang berbeda pula. Sistem berekspresi yang dipakai oleh manusia hasilnya ‘hambar’ (samar-samar) atau tidak jelas. Misalnya, manusia berkata ‘hendaklah kamu jujur’. Kata jujur tidak berarti sama sekali jika kita memakai system berekspresi manusia. Mengapa? Karena kata jujur tidak berarti jika hanya diekspresikan dalam bentuk kata-kata. Jujur baru memiliki arti jikalau manusia melakukannya dalam bentuk tindakan. Maka pernyataan ‘hendaklah kamu jujur lebih tepat memakai system berekspresi Allah. Contoh system berekspresi Allah yang paling konkrit, kita temukan dalam Keluaran 3:7&8). Pernyataan “…Aku telah memperhatikan…”; “…Aku telah mendengar…”; “…Aku mengetahui…”; “…Aku telah turun…”, adalah pernyataan-pernyataan yang disertai tindakan. Akan tetapi tindakan itu terjadi lebih dahulu. Allah lebih dahulu melakukannya sebelum Ia menyatakannya dalam bentuk pernyataan (saying). Perhatikan, Allah tidak berkata “Aku akan…” tetapi Ia berkata “Aku telah…”. Kata keterangan ‘akan’ dipakai untuk menyatakan suatu kegiatan yang terjadi diwaktu yang akan datang tetapi pernyataan (secara lisan) tentang kegiatan tersebut dikemukakan lebih dahulu. Berbeda dengan keterangan waktu ‘telah’. Kata keterangan ini dipakai untuk menyatakan suatu kegiatan yang sudah dilaksanakan pada waktu kegiatan tersebut diungkapkan secara lisan.

Apa pentingnya suatu statement didahului dengan action? Kita kembali pada hakekat keberadaan bahasa itu sendiri. Bahasa ada untuk mengkomunikasikan apa yang sudah ada. Atau adanya bahasa menerangkan apa yang sudah ada supaya dapat dimengerti dengan pikiran manusia. Apa yang ada bisa berupa benda, tetapi juga bisa berupa tindakan. Mengkomunikasikan berarti memberi nama pada benda atau tindakan sebagai penanda. Yang paling penting dari komunikasi adalah adanya arti. Di dalam komunikasi, masing-masing pihak harus saling mengerti. Jika tidak itu bukan komunikasi. Contoh yang paling sederhana adalah kayu. Dari sisi bahasa, ini terdiri dari huruf-huruf yang tidak memiliki arti. Tetapi jika dipadukan atau dilekatkan dengan ‘kayu’ yang memiliki wujud, kata ini sangat dipahami oleh manusia. Contoh lain misalnya kata ‘benar’. Kata ini hanya bisa dimengerti jika itu dinyatakan dalam bentuk tindakan. Jadi statement (saying) harus diikuti dengan tindakan (action) supaya apa yang diucapkan memiliki arti. Baik statement maupun action tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Keduanya seperti satu mata uang yang memiliki dua sisi. Melakukan yang satu dan mengabaikan yang lain sama halnya dengan hidup tanpa napas. Suatu statement yang tidak disertai tindakan (action) sama dengan “kampanye”. Kampanye adalah saudara kandung dari “dongeng”. Baik kampanye maupun dongeng merupakan anak-anak dari pepatah “Tong kosong nyaring bunyinya”. Ketika Tuhan berkata kepada murid-murid-Nya untuk melaksanakan Amanat Agung Tuhan Yesus Kristus (Matius 10:7), Ia tidak berkata “Pergilah dan ‘kampanyekan’ Kerajaan Sorga. Yesus berkata “Pergilah dan beritakanlah Kerajaan Sorga. Beritakan berarti menyampaikan apa yang sudah dialami. Berbeda dengan menyampaikan apa yang didengar dari orang lain. Memberitakan berarti membuktikan terlebih dahulu dalam diri kita sebelum dilanjutkan kepada orang lain dan itulah yang disebut ‘pemberitaan’. Tetapi melanjutkan apa yang diceriterakan oleh orang lain itulah ‘dongeng’. Injil harus diberitakan dan bukan menceriterakan.

Sistem berekspresi gaya manusia telah menguasai pikiran semua orang di seluruh dunia termasuk bangsa kita. Kebanyakan pemimpin di negeri ini bangga dengan jabatannya tetapi tidak sadar bahwa pola pikirnya masih menganut sistem berekspresi gaya manusia. Tidak perlu heran dengan statement mereka, sebab cara mereka berekspresi mengikuti cara manusia yang sifatnya “kampanye” atau “dongeng”.

Lantas bagaimana dengan cara berbicara orang percaya. Apakah sama dengan pemimpin-pemimpin dunia? Kalau kita jujur mengakui, hal itu ada. System berekspresi gaya manusia juga berpengaruh dalam pikiran orang percaya. Tetapi sulit untuk dipastikan. Tetapi harus disadari bahwa sebagai orang percaya, kita adalah utusan Allah sama seperti Musa. Tugas kita adalah meneruskan sifat-sifat Allah dan sisitem berekspresi seperti Allah. Alangkah na’ïfnya jika kita beratribut “Anak-anak-Nya”, tetapi cara kita seperti “orang dunia”. Renungkan pertanyaan ini: Sudahkah kita kembali ke Kanaan atau masih di Mesir? Jawabannya ada dalam hati kita masing-masing. Selamat berefleksi, kiranya Roh Kudus memimpin kita untuk mewujudkan kehendak-Nya dalam diri kita.



[1] Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Ahmad A.K Muda Drs, 2006, 530.

[2] Ibid, 351

[3] D D., Frank Charles Thompson, Ph.D. 1934. The New Chain Reference Bible. B.B. Kirkbride Bible Co., Inc. CD SABDA-Topik 04303 dan 04304

[4] Millard J. Erckson, Teologi Kristen (volume satu), 2004, 459-460.

[5] Ibid, 462

[6] Ibid, 463

[7] Ibid, 460